
Gorontalo – Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Gorontalo, Raymond J.H. Takasenseran, bersama para Kepala Divisi dan jajaran mengikuti Webinar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pidana Mati yang digelar secara daring oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) Kementerian Hukum dan HAM, pada Rabu (8/10).
Kegiatan ini diikuti oleh seluruh Kepala Kantor Wilayah Kemenkum se-Indonesia dari ruang rapat masing-masing, sementara pelaksanaan terpusat berlangsung di Ruang Rapat Soepomo Ditjen PP Kemenkumham.
Webinar tersebut menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten, di antaranya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Asep N. Mulyana, Pakar Hukum Pidana dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Prim Haryadi, serta Kapolda Kepulauan Bangka Belitung, Viktor T. Sihombing.
Para narasumber membahas berbagai topik strategis, seperti peranan dan koordinasi Jaksa dalam pelaksanaan pidana mati, catatan atas substansi RUU, peranan Mahkamah Agung dalam pelaksanaan putusan pidana mati, hingga peran Polri dalam memastikan pelaksanaan yang sesuai hukum dan prinsip kemanusiaan.
Dalam kesempatan ini, Wakil Menteri Hukum, Prof. Eddy O.S. Hiariej, menyampaikan keynote speech dan menegaskan pentingnya kegiatan ini sebagai upaya untuk menggali masukan komprehensif dari berbagai pemangku kepentingan. “RUU ini disusun agar pelaksanaannya selaras dengan prinsip hak asasi manusia, kepastian hukum, kemanusiaan, dan proporsionalitas, serta konsisten dengan amanat KUHP Tahun 2023,” ujarnya.
Eddy juga menjelaskan bahwa Urgensi ini termaktub dalam Amanat Pasal 102 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan berlaku pada 2 Januari 2026 mendatang Salah satu amanat penting dari KUHP baru ini adalah reformulasi konsep pidana mati, yang kini tidak lagi diposisikan sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus bersyarat dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Wamenkum juga menjelaskan bahwa penerapan pidana mati ke depan bersifat khusus (special punishment), bukan lagi utama (main punishment). Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 102 KUHP dan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang kini tengah disesuaikan dengan perkembangan hukum nasional. RUU Pelaksanaan Pidana Mati ini juga telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025, sebagaimana ditetapkan melalui Keputusan DPR RI Nomor 23/DPR RI/1/2025–2026.
Melalui kegiatan ini, diharapkan penyusunan RUU Tata Cara Pidana Mati dapat memperjelas arah kebijakan hukum pidana di Indonesia, sekaligus memberikan landasan hukum yang kuat dan humanis bagi praktik pelaksanaan pidana mati yang berkeadilan dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan.



